Satu lagi tradisi khas Suku Sasak-Lombok yang penuh dengan kearifan budaya lokal, serta memiliki makna lebih luas sebagai sarana untuk menjalin tali silaturahmi antar masyarakat, yakni Tradisi Nyongkolan.
Nyongkolan sendiri, adalah sebuah prosesi yang dilakukan oleh sepasang pengantin usai melaksanakan upacara perkawinan. Dengan mengenakan busana adat yang khas, keluarga pengantin laki-laki, juga ditemani oleh para tokoh agama, tokoh masyarakat, beserta sanak saudara, mereka berjalan keliling desa menuju kediaman keluarga pengantin perempuan untuk berkunjung.
“Tradisi Nyongkolan ini, merupakan bentuk pengumuman kepada masyarakat luas, bahwa pasangan tersebut sudah resmi menikah,” kata Ketua Persatuan Pemuda Sasak (Pepasak) NTB, A Latif Nadjib.
Itulah mengapa dalam Tradisi Nyongkolan, selalu diiringi dengan bunyi-bunyian yang ramai seperti mengikutserrtakan kesenian Gendang Beleq, Kecimol, ataupun Rudat. Pun sepasang pengantinnya juga ditandu lebih tinggi daripada pengiringnya. “Semua ini dilakukan, agar masyarakat yang dilalui rombongan Nyongkolan ini mengetahui, bahwa pasangan tersebut telah menikah secara resmi. Jadi nantinya kemanapun mereka pergi, masyarakat sudah mahfum,” jelas Latif.
Dalam budaya Sasak-Lombok menurutnya, ada tiga hal utama yang biasa dilakukan masyarakat dalam menjalankan prosesi perkawinan, yaitu sah secara agama, sah secara adat dan sah secara masyarakat.
“Sah secara agama biasanya dilakukan pada proses Ijab Kabul, atau Akad Nikah. Kemudian sah secara adat yakni pada acara Sorong Serah, selanjutnya sah secara masyarakat ada dalam tradisi Nyongkolan,” ujarnya.
Namun sebelum tradisi Nyongkolan itu sendiri dilakukan, ada berbagai tahap lain yang harus dijalani sepasang pengantin terkait proses perkawinannya. Tahap awal sebelum perkawinan dilaksanakan, ada masa perkenalan yang disebut Midang, ditandai dengan kedatangan laki-laki ke rumah perempuan.
Selanjutnya memasuki tahap perkawinan, dimana pada dasarnya ada beberapa cara
pelaksanaan, tetapi cara terbanyak adalah dengan Selarian, yakni melarikan calon pengantin perempuan tanpa terlihat oleh orang tuanya atau keluarganya.
Berikutya proses pemberitahuan kepada pihak perempuan, atau Selabar, bahwa anak perempuannya akan melakssanakan perkawinan yang disebut dengan Sejati. “Acara ini dapat dilaksanakan sekaligus dengan penentuan besaran biaya perkawinan atau Ajikrama seperti yang telah disepakati, baik oleh Kepala Kampung masing-masing asal calon pengantin, maupun pihak keluarga,” tutur Latif.
Pelaksananan Sejati atau Selabar, dilakukan dengan datang kepada Kepala Kampung atau Keliang pihak perempuan, selanjutnya disampaikan kepada keluarga perempuan, bahwa anaknya telah “dicuri” dan akan segera menikah. Untuk itu diminta adanya wali nikah atau tuntut wali.
Pihak laki-laki yang datang, selain Kepala Kampung, juga disertai dengan Pembayun yang bertugas untuk menegosiasikan besarnya Ajikrama. “Dan besaran Ajikrama itu sendiri tergantung apakah perempuan tersebut keturunan bangsawan yang tentu saja nilai ajikramanya lebih mahal dibandingkan masyarakat biasa,” jelasnya.
Proses selanjutnya adalah Sorong Serah, yang intinya menyerahkan Ajikrama kepada pihak perempuan. Biasanya pihak laki-laki diikuti oleh rombongan setidaknya 12 orang selain Pembayun, sedangkan dipihak keluarga wanita telah menunggu para kerabat dan tetua adat.
Setelah Sejati-Selabar ini, barulah dilaksanakan Tradisi Nyongkolan, yakni merupakan kunjungan pihak laki-laki kepada pihak perempuan dengan disertai kerabat dan diiringi gamelan Gendang Beleq secara meriah.
“Pengantin diarak keliling desa atau jalan utama, dengan diikuti oleh teman, kerabat, dan tetangga. Pelaksanaan nyongkolan sendiri biasanya berlangsung pada sore hari,” pungkas Latif.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar