Di masa lampau ketika musim kemarau berkepanjangan, masyarakat Lombok Utara, khususnya di wilayah Kecamatan Bayan, memiliki tradisi dan ritual unik untuk mendatangkan hujan, mereka memainkan kesenian Suling Dewa.
Biasanya, kesenian ini dilakukan oleh pemimpin adat bersama-sama dengan warga dusun, lengkap dengan pakaian tradisional, melakukan ritual mohon hujan.
Alunan suara Suling atau Seruling Dewa yang menyayat hati, mengiringi warga dusun menari sembari memanjatkan do`a untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi hujan.
Menurut salah seorang tokoh adat masyarakat Lombok Utara, Datu Tashadi Putra, konon tak sembarang orang yang bisa membuat suling dewa tersebut, begitu pula dengan peniup sulingnya, mereka haruslah orang yang memiliki keturunan langsung dari sesepuh Bayan.
“Selain itu, bambu yang dijadikan bahan dasar untuk membuat suling dewa, haruslah bambu pilihan. Pun bambu pilihan ini tak begitu saja ditebang. Acara ritual dan pernak-perniknya harus digelar lebih dahulu agar diberi keselamatan dan dijauhkan dari marabahaya, terutama gangguan mahluk jahat,” ujarnya.
Dikatakan, pembuat suling dewa harus melakukan upacara persembahan kepada leluhur, serta penunggu rumpun bambu, sehingga diberi kemudahan saat memotong bambu yang nantinya akan dibuat suling dewa. “Bambu inilah yang disebut dengan bambu Seruru, bambu pilihan dengan diameter sekitar empat sentimeter, yang kemudian dijemur sampai kering,” terang Datu Tashadi.
Hanya saja keluh tokoh adat Lombok Utara yang juga Kepala Desa Tanjung ini, kesenian Suling Dewa kini nasibnya seperti diujung tanduk, karena selain mulai ditinggalkan masyarakat. Tradisi yang telah turun temurun selama puluhan tahun ini juga minim regenerasi.
“Hal inilah yang dicoba digali kembali oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Utara untuk dibangkitkan lagi sebegai aset budaya masyarakat Bayan khususnya, dan masyarakat Lombok Utara umumnya, agar bisa tetap lestari. Caranya, yakni dengan tetap menampilkan kesenian ini melalui berbagai even budaya yang digelar,” harap Datu Tashadi.
Proses pembuatan Suling Dewa itu sendiri lanjut Datu Tashadi, biasanya dilakukan oleh salah seorang warga yang masih memiliki hubungan darah keturunan dengan sesepuh adat Bayan. Mereka menempuh perjalanan jauh memasuki hutan di kawasan kaki Gunung Rinjani untuk mencari bambu yang selanjutnya akan dibuat Bilo (pembuat lobang suling-red), semacam batangan-batangan kecil dan runcing pada bagian ujungnya.
Ia tak sendirian, tetapi juga diiringi oleh seorang keturunan adat Bayan lainnya yang bertugas untuk merintis jalan dan sebagai penentu batang bambu mana yang cocok. “Bambu yang telah terpilih, tak begitu saja ditebang. Sebelumnya harus digelar acara ritual lebih dulu. Penginang yang dibawa dan telah dipersiapkan dari rumah, menjadi pelengkap ritual,” terangnya.
Menjelang sore, baru mereka berdua kembali ke dusun dengan membawa potongan bambu, untuk selanjutnya disimpan. Dan malam harinya, sesepuh Bayan segera mempersiapkan diri untuk mengadakan ritual di rumah adat. Dan pada kesempatan itu, juga hadir si pembuat suling dewa. Dimana sebelum bekerja, juga digelar serangkaian ritual lebih dahulu dengan berbagai sesajen seperti daun sirih, kapur dan pinang, serta ketan putih sebagai pelengkap ritual.
Dengan menggunakan peralatan yang cukup sederhana seperti berupa pisau, si pembuat suling dengan lihainya menyerut bambu Seruru sepanjang sekitar 1 meter itu. “Setelah jadi, si pembuat mencoba meniup berulang kali hingga suling menghasilkan suara yang merdu,” pungkasnya.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar