Saat ini, banyak negara yang memanfaatkan tinggalan arkeologi dalam bentuk benda purbakala dari situs, seperti bangunan monumental untuk kepentingan pariwisata. Bahkan bangunan monumental itu merupakan daya tarik utama dalam usaha pengembangan kepariwisataan suatu daerah.
Seperti Situs Dorobata di Kabupaten Dompu, yang keberadaannya sendiri diperkirakan merupakan warisan dari masa Hindu di daerah Indonesia bagian timur. Dugaan itu terjadi, karena di situs tersebut ada ditemukan sisa – sisa bangunan berupa batu bata yang berbentuk seperti batu bata tipe jaman Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, panjang batu bata 42 cm, lebar 26 cm dan tebal 8 cm.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Dompu, Drs H Abdul Haris, Situs Dorobata merupakan tinggalan arkeologi yang terdapat di Desa Kandai, Kecamatan Dompu, terletak pada ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut.
Hanya saja, bangunan yang menyerupai sebuah bukit tersebut menjadi suatu temuan arkeologi yang memiliki banyak misteri dan belum terpecahkan hingga kini. Sehingga berbagai pertanyaan muncul, apakah fungsi bangunan itu, kapan dibangun dan siapakah yang membangun?
Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Denpasar pada 30 Mei 2008 lalu, yang dipimpin Dra Ayu Ambarawati, sedikit tidak telah mampu menguak tabir rahasia dari bangunan Dorobata ini.
Awalnya menurut Abdul Haris, tim arkeologi melakukan penggalian 2 kotak diatas bukit dengan keadaan tanahnya yang datar dan dekat dengan lubang diatas bukit yang disebut Yoni.
“Tujuannya, yakni untuk mencari sisa aktifitas keagamaan yang pernah berlangsung pada jamannya, yaitu abad ke 13 – 14 Masehi. Dimana pada kedalaman sekitar 15 cm dari benang level yang dipasang, kemudian dilanjutkan dengan penggalian sekitar 10 cm (spit I), ditemukan susunan batu bata yang berserakan. Sementara pada spit II, dengan kondisi tanah lempung pasir, ditemukan susunan batu bata terpasang rapi hampir memenuhi setengah bidang kotak, serta temuan lain berupa kereweng (pecahan grabah),” jelasnya.
Dikedalaman sekitar 35 cm (spit III) lanjut Abdul Haris, juga dijumpai susunan batu bata yang tertata rapi dan berlanjut terus hingga ke bawah pada sebelah timur, serta temuan lain adalah kereweng dan pecahan keramik. Sedangkan dikedalaman 45 cm (spit IV), temuan struktur batu bata bertambah satu lapisan lagi. Dan setelah batu bata yang berserakan itu diangkat, ternyata tidak ada lapisan batu bata lagi.
Namun demikian, penggalian tetap dilanjutkan kembali pada kedalaman sekitar 45 cm (spit V), dengan kondisi tanah gembur, jenis pasir tanah campur kerikil dan batu apung yang berwarna agak hitam, dimana ditemukan kereweng dan keramik. Selanjutnya pada kedalaman 65 cm (spit VI) dijumpai kereweng dan fragmen perunggu, dan penggalian akhirnya dihentikan di kedalaman 75 cm (spit VII), dimana ada ditemukan kereweng, keramik, fragmen perunggu dan batu pipisan (batu ulekan).
“Jadi kesimpulan dari hasil penggalian tersebut, struktur batu bata masih berlanjut kearah selatan dan arah barat. Dimana struktur yang tampak adalah sebagai berikut, panjang keseluruhan 6,15 meter kearah selatan, kemudian panjang kearah barat secara keseluruhan 3,55 meter, lebar struktur 90 cm dan tinggi 30 cm, dengan 4 susunan batu bata,” beber Abdul Haris.
Lantas, apa kira – kira latar belakang masyarakat jaman itu memilih lokasi di Dorobata untuk mendirikan monumen yang diperkirakan sebagai bangunan suci, atau pusat Kerajaan Dompo (Dompu) tersebut?
Menjawab hal itu, Komandan Distrik Militer (Dandim) Dompu, Letkol Inf. Koesdiro, menyatakan bahwa pemilihan lokasi di Dorobata jika melihat dari topografi daerah adalah bukan sesuatu yang aneh. “Coba lihat sekeliling, daerah Dorobata ini terdapat aliran sungai dan dikelilingi oleh hamparan sawah yang subur. Kedua hal itulah yang melatarbelakangi setiap penguasa di masa lalu untuk mendirikan kerajaannya,” jelas Koesdiro.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar