Adat istiadat, merupakan perilaku masyarakat suatu daerah yang terbentuk karena akhlak, dan budi pekerti yang baik. Dimana kebiasaan, atau tradisi yang baik tersebut, setelah disepakati masyarakat, kemudian ditetapkan menjadi hukum adat, yang kehadirannya sangat dipatuhi oleh masyarakat.
“Di Indonesia, hukum adat ini juga masuk sebagai hukum positif. Bahkan keberadaannya bisa menjadi solusi, dan melengkapi hukum secara nasional yang memang belum lengkap mengatur segala aspek kehidupan manusia,” ujar Bupati Lombok Utara, Drs Ridwan Hidayat.
Khusus di Lombok Utara, hukum adat terbukti memiliki nilai positif untuk mengatur masyarakat. “Contohnya saja keberadaan 36 hutan adat yang ada di Lombok Utara, berkat adanya Awig-Awig (hukum adat) yang mengatur dan berlaku secara turun temurun, sampai sekarang hutan adat ini masih tetap lestari,” jelas Ridwan.
Lantas, bagaimana jika ada yang melanggar, atau menghina adat istiadat yang berlaku? “Tentu saja akan terjadi ketidakseimbangan tata kehidupan, baik itu dalam bidang sosial, budaya, maupun ekonomi. Ujungnya, tentu akan berlanjut kepada ketidaknyamanan, ketidakharmonisan, bahkan keamanan diri pelaku pelanggar adat istiadat tersebut,” kata Datu Artadi, ketua panitia ritual Rebang Alung, sebuah upacara adat yang sangat langka, dan jarang dilakukan di Lombok, untuk memberikan sanksi kepada pelanggar adat.
Ritual Rebang Alung yang diselenggarakan di Dusun Tanaq Song, Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung ini, akibat adanya statemen yang kurang bersahabat, atau kurang pantas dari mulut salah satu pejabat di Lombok Utara. “Atau dalam bahasa orang di Lombok Utara, suara kurang pantas itu disebut Gila Bibir,” ujar Datu Artadi.
Perbuatan Gila Bibir ini tentu saja berpotensi Nggawe Pati (membuat kematian), yang resikonya kalau dibiarkan bisa saja saling membunuh, sehingga harus segera dilakukan upacara Rebang Alung, dimana Alung berarti penghalang keharmonisan yang harus segera di tebang (Rebang). “Inilah mengapa upacara pemberian sanksi Gila Bibir ini dinamakan Rebang Alung,” tutur Datu Artadi.
Mengingat pentingnya upacara adat ini untuk tata kehidupan manusia, khususnyya di Lombok Utara, selain Bupati Lombok Utara, Drs Ridwan Hidayat, diantara hadirin juga terlihat para tokoh masyarakat, dan tokoh adat dari Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Lombok Utara sendiri. Bahkan Ketua Majelis Adat Sasak, Drs HL Azhar, juga menyempatkan hadir.
Urutan acara Rebang Alung, dimulai dengan dilantunkannya Tembang Pengeleng-Ngeleng, atau lagu tradisional yang didalam syairnya termuat pesan-pesan tentang kehidupan manusia.
Berikutnya dilakukan Sangkep (rapat) antara para tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan unsur pemerintah, yang dilanjutkan dengan Gundem Paripurna (rapat akhir) untuk mengambil keputusan bagi pelanggar adat.
Dalam keputusan akhir itu, pelanggar adat akhirnya diharuskan membayar denda, atau Ilen Pati, yakni membayar Seketi Kurang Siu, atau 99.000 uang bolong, yang kalau dikurskan, satu uang bolong sama dengan 35 rupiah.
Selain itu, pelanggar adat juga diwajibkan menyerahkan seekor kerbau untuk dipotong, dan kepalanya akan dilarung ke laut lepas. Hal ini bermakna membuang Alung, atau halangan, sehingga yang bersangkutan dapat diterima kembali secara hukum adat, dan menjadi keluarga, atau bagian dari masyarakat Lombok Utara.
Sedangkan piranti yang harus ada sebelum acara ritual Rebang Alung, yakni Sembeq Buraq Bedak Krames, atau menyucikan kembali pelanggar adat dengan membasuh kepalanya memakai beras kuning dan kelapa yang diparut. Juga menyediakan 40 Dulang Pesaji dan 40 Ancak yang berisi makanan seperti nasi dan lauk pauk untuk diberikan kepada fakir miskin dan anak yatim.
“Setelah prosesi ritual Rebang Alung ini selesai, maka seluruh masyarakat Lombok Utara tidak boleh menggunjingkan, atau membicarakan kesalahan yang bersangkutan lagi,” terang Datu Artadi.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar