Meskipun secara kewilayahan, Lombok Utara merupakan kabupaten termuda di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), namun siapapun pasti maklum, bahwa daerah ini merupakan tempat peradaban tertua di Pulau Lombok.
Keberadaan berbagai kesenian atau tradisi yang begitu mengakar di masyarakat, serta dilandasi dengan pondasi keagamaan warganya yang kuat, membuat Kabupaten Lombok Utara banyak menyimpan kekayaan kultur dan budaya yang bahkan masih belum banyak dikenal publik.
Salah satunya adalah kesenian Gegeruk Tandak. Konon kesenian satu ini dipercaya mampu menaklukkan binatang buas, sehingga tidak mengganggu kehidupan manusia.
Seperti dikisahkan Rianom, salah seorang budayawan dari Bayan, Lombok Utara, bahwa kesenian Gegeruk Tandak ini lahir mengikuti pola hidup manusia jaman dahulu, yakni ketika masyarakat masih menganut pola hidup ladang berpindah, atau nomaden.
”Begitu bijaknya manusia jaman dahulu memperlakukan alam untuk mencoba hidup berdampingan secara harmonis, sehingga pada saat mereka mau membuka ladang di tengah hutan rimba, tidak serta merta langsung membabat begitu saja. Tapi mereka terlebih dahulu beradaptasi dengan alam dan penghuninya,” ujarnya.
Sebelum membuka lahan, salah satu pemimpin dari suku nomaden yang memiliki kemampuan tinggi, atau biasa disebut Penghulu Alim, terlebih dahulu mencoba komunikasi dengan binatang-binatang buas yang ada, terutama hewan pengganggu tanaman. Dimana hewan-hewan buas tersebut dikumpulkan menjadi satu, kemudian dihibur atau dijinakkan oleh Penghulu Alim.
”Dengan kemampuan ilmu yang dimiliki, Penghulu Alim menyamar menjadi Mayung Putiq (Kijang Putih), yang merupakan pemimpin kumpulan hewan buas atau yang kemudian disebut sebagai Gegeruk Tandak ini,” jelas Rianom.
Dan ketika kaum manusia membuka lahan, kumpulan hewan buas inipun merasa bahwa kedatangan manusia sama sekali tidak mengganggu habitat mereka, sehingga kumpulan hewan buas ini tidak lagi mencoba mengganggu manusia dan ladangnya. Juga karena yang membuka lahan tersebut adalah Mayung Putiq, pemimpinnya sendiri.
Kesenian Gegeruk Tandak menurut Rianom, dimainkan oleh 13 orang, dimana satu orang berperan sebagai Oncek (Pengulu Alim) yang berwujud binatang kijang berwarna putih, dan sisanya berperan mengiringi Oncek sebagai penari.
Karena perannya yang begitu penting di masyarakat, sehingga para ibu – ibu jaman dahulu kalau hamil selalu mengidamkan hati mayung putih, dengan harapan kelak jika san anak lahir bisa memiliki kemampuan dan perilaku dari Mayung Putiq tersebut.
Di atas pentas, 13 penari itu membentuk formasi barisan memanjang atau lingkaran, dimana semuanya menari dan melawas (menyanyi), hingga saling berbalas pantun. Uniknya, dalam menari mereka sama sekali tidak membutuhkan alat musik pengiring, dan cukup dari bunyi-bunyian yang keluar dari bibir masing-masing penari. ”Seperti acapella atau musik bibir, hanya saja ini acapella khas orang Bayan,” tutur Rianom seraya menyampaikan, dulu binatang yang dianggap buas karena sering mengganggu kebun masyarakat adalah babi hutan, sehingga bunyi musik Gegeruk Tandak ini juga menyerupai bunyi babi.
Karena kesenian dianggap masyarakat bisa menaklukkan binatang buas yang sering mengganggu manusia, maka para Tetua Adat jaman dahulu akhirnya sepakat kalau kesenian ini dikeramatkan, diritualkan dan tidak boleh sembarang waktu dipentaskan.
Makna yang terkandung dalam kesenian ini, yaitu bagaimana agar manusia bisa bersahabat dengan alam, saling menghargai dan menciptakan sebuah hubungan simbiosis mutualisme antara manusia dengan alam serta penghuninya. ”Contohnya, ketika membuka lahan, kita harus ijin dulu dan memanfaatkan hanya sebatas kebutuhan saja. Tidak boleh merusak, apalagi mengekploitasi,” pesan Rianom bijak.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar