Dalam kehidupan masyarakat di Lombok Utara, banyak sekali bentuk tradisi yang hingga kini masih tetap lestari. Namun secara keseluruhan, tradisi kehidupan itu bisa dikelompokkan dalam dua bagian, yakni Gawe Urip, sebuah tradisi yang dilaksanakan semasa hidup, seperti upacara kelahiran, khitanan, perkawinan, dan lainnya.
Sedangkan kelompok kedua, dikenal dengan Gawe Ala, diperuntukkan bagi para leluhur yang telah meninggal dunia, diantara rangkaian acaranya yaitu Mendelung (3 hari), Memitu (7 hari), Nyiwa` (9 hari), Metangpuluh (40 hari), Nyatus (100 hari) dan Nyiuang (1000 hari).
“Bermacam Gawe (acara) itu, merupakan bagian dari budaya yang kami miliki, dimana telah diwariskan secara turun-temurun. Seperti yang kami laksanakan hari ini, gawe Nyiuang,” terang Datu Artadi, salah seorang pengamat budaya Lombok Utara.
Gawe Nyiuang atau acara memperingati 1000 hari para leluhur yang telah meninggal, dilaksanakan kurang lebih 3 tahun setelah kerabat meninggal dunia, karena diperkirakan dalam rentang waktu tersebut, tulang belulang mendiang telah hancur.
Dijelaskan, bahwa acara ini dilangsungkan selama 3 hari berturut-turut, dan puncaknya harus dilaksanakan pada hari Jum`at. Hal ini merupakan petunjuk yang diberikan Sunan Tembayat, salah satu wali penyebar Islam di Lombok Utara, seperti yang tertulis dalam kitab Tannajul Tarki.
“Mengapa hari jumat? Karena menurut keyakinan para leluhur kami, bahwa sempurnanya penciptaan Nabi Adam oleh Allah SWT, terjadi pada hari Jumat,”paparnya.
Nyiuang sendiri berasal dari kata Siu atau seribu, prosesi awalnya dimulai dengan mencari batu nisan. Bila batu nisan telah ditemukan, ada ritual tersendiri yang harus dilakukan, yaitu dengan memakai beras kuning, sirih dan pinang. Setelah ritual tersebut dilakukan, batu nisan boleh diambil, dan diletakkan di halaman masjid, tepatnya didepan mimbar.
Batu nisan yang diambil, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Untuk satu buah makam, hanya membutuhkan 2 nisan. “Dan dalam acara Nyiuang di Dusun Karang Raden, Tanjung, Lombok Utara ini, adalah untuk memperingati 1000 harinya 5 orang keluarga yang telah berpulang, maka nisan yang dibutuhkan hanya sebanyak 10 buah saja,” kata Datu Artadi.
Setelah sehari semalam disemayamkan di Masjid, esok paginya seluruh nisan tersebut diambil untuk kemudian dibawa menuju Berugaq yang telah dihiasi dengan kain putih sebagai simbol kesucian. “Kalau gawe urip, Berugaq Sekenem (tiangnya enam) di rumah duka dihiasi dengan bunga-bunga serta hiasan lainnya, tetapi untuk gawe ala, tidak dihias, hanya dibungkus kain putih saja,” jelasnya.
Batu nisan kemudian dibersihkan, lalu dimandikan oleh anak cucu mendiang, yang dipuncaki dengan menyiram air bunga pada batu nisan. Selanjutnya seluruh batu nisan diserahkan ke Penghulu (tetua Adat), untuk kemudian dibungkus dengan kain putih, dan diberi nama sesuai nama orang yang telah meninggal.
“Untuk gawe ala (Nyiuang) kali ini, yang meninggal adalah keluarga kami atas nama Raden Dwi Pratama, Raden Jayakusuma, Mekel Rumisah, Inaq Juminah dan Inaq Jum,” tambah Datu Tashadi Putra, salah seorang kerabat yang juga Kepala Desa Tanjung.
Setelah semua prosesi itu dilaksanakan lanjut Datu Artadi, dilanjutkan dengan Roah atau Dzikiran, kemudian pengajian membaca Al Qur’an, hanya saja tidak sampai khatam (selesai), karena proses khataman Al Quran itu akan dilangsungkan di hari ketiganya,”jelasnya.
Ketika pengajian ini berakhir, maka rangkaian acara dilanjutkan dengan upacara Lemurut, yaitu memberikan wangi-wangian kepada Lingsir atau para sesepuh, tokoh adat, tokoh pemerintahan, yang maknanya untuk mensucikan tempat acara tersebut dilangsungkan. “Puncak acara di hari kedua ini ditutup dengan Pepaosan, atau membaca serat (surat) Tapel Adam, yang isinya menceritakan tentang kelahiran Nabi Adam,”ujar Datu Artadi.
Di hari ketiga, yang merupakan puncak dari seluruh kegiatan Gawe Nyiuang ini, seluruh batu nisan di umbak (gendong) oleh anak cucu mendiang menuju pemakaman untuk menanam batu nisan tersebut, dengan dipimpin oleh penghulu adat.
Pulang dari kuburan, seluruh keluarga melanjutkan prosesi dengan mengisi Ancak (anyaman bambu segi empat) dengan nasi aji atau nasi suci yang terdiri dari ayam dan telur, yang disekelilingnya disusun pisang dan jajanan tradisonal sebanyak 44 buah. ”Ancak tersebut dikonotasikan sebagai kerangka tubuh, dimana 44 jajanan itu disimbolkan sebagai bagian tubuh manusia. Misalnya gigi, disimbolkan dengan pisang, jajan terok atau renggi melambangkan jantung, dan lainnya,” bebernya.
Dan setelah waktu menunjukkan Gugur Kembang Waru (sekitar pukul 16.00 Wita), dilaksanakan Roah dan pengajian, yakni melanjutkan membaca Al Qur’an hingga khatam (selesai). Selanjutnya, upacara puncak dilaksanakan, yaitu upacara sedekah sholawat.
Sedekah yang akan diserahkan kepada para fakir miskin itu berupa perlengkapan hidup almarhum, mulai dari kasur, padi, barang-barang kesayangan almarhum, hingga binatang kesayangan seperti kambing, ayam dan lainnya.
Semua barang itu dipikul oleh keturunan almarhum, untuk kemudian diserahkan oleh Wali Penyerah kepada Wali Penerima. Dan setelah semua sedekah itu diserahkan, maka secara otomatis acara gawe Nyiuang ini telah berakhir.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar