Salah satu bentuk pelestarian tradisi leluhur paling menonjol yang dilakukan oleh komunitas adat Makam Peraba di Dusun Punikan, Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, yakni pelaksanaan Rowah Adat Makam Peraba yang digelar warga setiap tahun untuk menyambut tahun baru Islam, 1 Muharram.
Menurut ketua pelaksana Rowah Adat Makam Peraba, Syaiful Karyadi, upacara adat ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan yang telah memberikan hasil bumi berlimpah, untuk menghidupi mereka sepanjang tahun.
“Selain bentuk rasa syukur, juga dimaksudkan sebagai ritual untuk menyambut tahun baru Islam, 1 Muharram, dengan doa semoga tahun – tahun mendatang desa kami selalu diberikan berkah, keselamatan dan perlindungan,” harap Syaiful.
Dikatakan, sebelum pelaksanaan Rowah Adat Makam Peraba, sejak tiga hari sebelumnya di masyarakat telah terjadi kesibukan, mereka bergotong royong, bersih desa, dan membuat Tetaring, atau atap yang terbuat dari anyaman daun kelapa, baik di rumah Tetua Adat di Desa Punikan, maupun di Makam Peraba, sekitar 7 kilometer dari Desa Punikan, tepatnya di bawah kaki Gunung Punikan (sebagian ada yang menyebut Gunung Argapura).
Prosesi acaranya sendiri, di mulai dengan melakukan Pesuci, yakni mengarak keliling desa berbagai perlengkapan upacara seperti Rampak, sebuah wadah berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 2 meter yang terbuat dari kulit sapi untuk menumbuk padi, Anaq Alu, atau alat penumbuk padi yang terbuat dari kayu, berbagai hasil bumi seperti padi, jagung, dan lainnya, untuk kemudian menuju pinggiran sungai desa setempat, dengan diiringi alunan tetabuhan Gendang Beleq.
“Pesuci, atau upacara menumbuk padi untuk menjadi beras ini dilakukan di pinggiran sungai, karena kulit padi tidak boleh terinjak oleh kaki manusia, dan bisa langsung hanyut di sungai. Selain itu, yang menumbuk padi juga harus kaum wanita yag tidak sedang haid,” jelas Syaiful.
Setelah mendapatkan beras yang cukup, selanjutnya warga kembali ke rumah Tetua Adat untuk kegiatan Melesung, atau menumbuk beras untuk dijadikan tepung, yang nantinya akan dipakai membuat aneka kue tradisional untuk mengisi Dulang (wadah tempat makanan).
Lebih lanjut dikatakan Syaiful, upacara Rowah Adat Makam Peraba ini sebenarnya sudah dilaksanakan warga Komunitas Adat Makam Peraba yang ada di Dusun Punikan Utara, Dusun Punikan Selatan, Dusun Peraba, dan Kali Ranget, sejak abad 13 Masehi.
“Hanya saja, pelaksanaannya sempat terhenti lama, dan baru sekitar tahun 2002 dihidupkan kembali oleh masyarakat, untuk menggali akar budaya dan melestarikan warisan nenek moyang,” ujar Syaiful.
“Setiap tahun, tepatnya setiap penanggalan Islam menunjukkan tanggal 1 Muharram, tanpa diundang, ratusan orang yang mengaku sebagai keturunan dari Komunitas Adat Makam Peraba, akan berdatangan ke Makam Peraba untuk ikut terlibat dalam upacara ini. Maknanya, ritual ini sekaligus sebagai ajang silaturahmi,” ucap Syaiful.
Kembali ke acara, setelah beras di tumbuk menjadi tepung, dan tepung di olah menjadi aneka macam kue yang kemudian diletakkan di atas Dulang Pesaji, maka kemudian dengan diiringi kesenian Gendang Beleq, masyarakat akan ramai – ramai membawa ke Makam Peraba yang terletak di tengah hutan Punikan pada 1 Muharram untuk dilaksanakan Rowah, atau selamatan.
“Usai berdoa, makanan dan minuman kemudian di santap bersamaan oleh warga yang hadir, dan ada juga yang di bawa pulang untuk di makan bersama keluarga,” pungkas Syaiful.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar