Setelah beberapa lama Gunung Baru Jari di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) menampakkan aktifitasnya (meletus), sehingga harus ditetapkan oleh Badan Meteorologi dengan status “waspada”. Dimana para pendaki hanya diperbolehkan mendaki ke kawasan TNGR sampai di Plawangan Senaru (bagi yang mendaki lewat jalur Senaru), atau Plawangan Sembalun (bagi yang mendaki lewat jalur Sembalun). Maka mulai hari Sabtu (12/9/2009) lalu, para pendaki kembali diijinkan mendaki sampai puncak Gunung Rinjani (3.765 meter dari permukaan laut).
Kebijakan itu disampaikan Kepala Balai TNGR, Sahabuddin, ketika ditanyakan mengenai status terkini dari kawasan TNGR. “Hal itu sesuai dengan rekomendasi yang kami terima dari Badan Meteorologi, bahwa pendakian sampai puncak Gunung Rinjani sudah aman. Tetapi hanya sampai puncak, untuk turun ke danau Segara Anak masih belum diperbolehkan,” tutur Sahabuddin.
Lantas, bagaimana dengan kebakaran yang terjadi di kawasan TNGR, tepatnya di sekitar jalur pendakian Sembalun belum lama ini, apakah hal itu tidak mempengaruhi keinginan para pendaki untuk melakukan pendakian ke TNGR? Kembali dijelaskan Sahabuddin, bahwa kebakaran yang terjadi itu merupakan siklus tahunan yang tidak perlu dicemaskan, mengingat yang terbakar itu hanya padang sabana (ilalang) saja.
“Mungkin yang perlu kita waspadai dan dijaga, jangan sampai kebakaran itu merembet ke tempat-tempat lain seperti kawasan hutan misalnya,” jelasnya.
Justeru kebakaran padang sabana yang terjadi itu lanjut mantan Kepala Taman Nasional Bunaken ini, memiliki pengaruh yang positif terhadap lingkungan. “Dimana setelah padang ilalang itu nantinya tumbuh kembali, maka dari batangnya akan mengeluarkan bau yang harum, sehingga menarik kawanan binatang seperti kijang untuk datang dan makan,” ucap Sahabuddin seraya menyampaikan, ketika hal ini terjadi, maka dibutuhkan pengawasan yang maksimal untuk memantau kegiatan para pemburu liar.
Namun untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang tak diinginkan, pihaknya juga mengaku telah menyiagakan personel, maupun mobil-mobil pemadam kebakaran, serta memasang pompa air di empat titik sekitar jalur pendakian Sembalun yang diduga rawan terjadi kebakaran.
Memang aku Kepala Balai TNGR ini, aktifitas letusan yang terjadi di Gunung Rinjani masih sulit diprediksi, sehingga permasalahan ini pula yang membuat pihaknya juga masih sulit memprediksikan berapa pendapatan yang dihasilkan dari aktifitas pendakian di TNGR.
Kalau di daerah lain sambungnya, berapa pendapatan yang dihasilkan oleh kawasan taman nasional setiap tahun itu sudah bisa diketahui. Karena pihak Travel Agent yang biasa memanfaatkan kawasan taman nasional untuk aktifitas tamunya, sudah berani membayar lebih dahulu.
Untuk mengetahui dan mengumpulkan data terkait aktifitas yang terjadi di Gunung Rinjani, minimal dibutuhkan waktu 10 sampai 15 tahun. Setelah itu baru bisa ditawarkan kepada pihak Travel Agent yang khusus menyediakan jasa tracking, berapa mereka berani membayar setiap tahun untuk melakukan pendakian.
“Dan peluang – peluang seperti ini sudah saatnya harus kita bicarakan kalau ingin memaksimalkan pengelolaan TNGR, karena di tempat lain juga sudah diberlakukan hal yang sama,” tandas Sahabuddin.
Paling tidak ujarnya, 3 sampai 5 tahun mendatang, Gunung Rinjani ini sudah harus jadi Badan Layanan Umum (BLU), sehingga bisa mandiri dan pendapatan yang dihasilkan dari aktifitas pendakian juga bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengelolaan kawasan.
Sementara itu, Ketua Rinjani Trek Management Board (RTMB), Drs L Gita Ariadi MSi, yang dijumpai ditempat terpisah mengatakan, bahwa sebagai pejabat baru di RTMB, pihaknya mengaku masih mempelajari dan akan segera melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap kawasan TNGR, baik itu pihak Travel Agent, Balai TNGR, maupun dengan tiga pemerintah daerah (Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur) sebagai pemilik kawasan TNGR.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar