Pengelolaan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di Indonesia, memiliki peran yang sangat penting dan cukup strategis, mengingat kawasan ini memiliki produktivitas hayati yang tinggi. Selain juga daerah yang indah dan nyaman untuk rekreasi dan berwisata.
Hanya saja, kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan yang tinggi, membuat kawasan ini harus mengalami tekanan lingkungan yang tinggi dan rentan terhadap bencana alam.
Pemanfaatan secara optimal dan berkesinambungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya Departemen Kelautan dan Perikanan, Dr Ir Suseno MM, hanya dapat terwujud jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu, dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pendekatan pembangunan secara hati-hati.
“Untuk itu, pemahaman dan kerjasama dengan stakeholders sangat penting. Karena di masyarakat yang secara turun-menurun menetap dan beradaptasi di lingkungan kawasan pesisir, mereka tentu telah memiliki adat tersendiri dalam mengelola lingkungannya,” ujar Suseno dalam simposium internasional tentang lembaga adat di Indonesia, Rabu (6/8/2009) di Hotel Santhosa, Senggigi, Lombok Barat.
Hal ini lanjutnya, tentu memerlukan informasi yang jelas, sehingga peluang kerjasama dapat digali lebih mendalam. Dan sosialisasi kali ini, memang dirancang untuk mengangkat serta mensosialisasikan peran masyarakat adat dalam pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam skala yang lebih besar. Sehingga dapat diambil nilai-nilai positifnya dalam tata cara adat, dan menjadikannya sebagai modal dasar pembangunan kelautan dan perikanan.
Hasil akhir yang diharapkan, tentunya informasi yang dibutuhkan masyarakat, khususnya warga kawasan pesisir, bisa tersedia dengan dukungan dari berbagai pihak, terutama Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehingga masyarakat adat memiliki peran penting dalam pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung pembangunan kelautan dan perikanan, dengan mengedepankan aturan dan norma yang mengikat masyarakat setempat.
Sementara Sekretaris Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K), DR Sudirman Saad SH M.Hum, menyatakan, bahwa peran dan sumbangan masyarakat kawasan pesisir terhadap pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, bisa dibilang tidak kecil.
Untuk itu kalau berbicara mengenai pengelolaan sumber daya alam perikanan dan kelautan dengan menggunakan konsep co-management, maka semua pemangku kepentingan tidak bisa bersikap resistant terhadap peran tradisi adat atau kearifan lokal masyarakat pesisir sebagai warisan budaya bangsa yang tinggi dan luhur.
Karena pada dasarnya, masyarakat pesisir lokal itu memiliki rasa penghargaan yang sangat tinggi terhadap sistem sosial tradisional. Dan sikap itu terbukti nyata telah menjaga keberlanjutan hidup mereka di tengah-tengah situasi yang serba tidak pasti, dengan keseimbangan alam dan lingkungan bisa tetap terjaga.
Hasil dari simposium yang dilakukan di berbagai daerah inilah yang nanti akan menjadi bahan evaluasi dan masukan efektif, untuk kemudian dijadikan salah satu proses penyusunan dokumen rencana strategis (Renstra), yaitu sesuai pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia No. 27 tahun 2007.
“Dari kegiatan ini, diharapkan bisa tersusun saran dan rekomendasi alternatif solusi permasalahan masyarakat adat dalam pengelolaan kelautan, pesisir da pulau-pulau kecil untuk mendukung pembangunan kelautan dan perikanan. Juga untuk komunikasi dan pertukaran informasi antara pemerintah pusat dan daerah, kalangan akademik, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat baik nasional, regional maupun internasional, serta pemuka masyarakat dan adat,” jelas Sudirman.
Jika semua masukan dan saran dari stakeholder tersebut sudah bisa terakomodir, maka diyakini permasalahan-permasalahan seperti penambangan terumbu karang yang terjadi di Desa Jambi Anom, Lombok Utara, dengan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, tidak akan terjadi lagi.
Sedangkan Sekretaris Daerah NTB, Drs H Abdul Malik MM, mewakili Gubernur NTB dalam sambutannya menyatakan, wilayah Provinsi NTB selain dua pulau besar yakni Pulau Lombok dan Sumbawa, juga dikelilingi 278 pulau kecil, atau yang biasa disebut dengan Gili.
Keberadaan ratusan Gili tersebut, selain memang berpotensi untuk dikembangkan sebagai daerah pariwisata, ditempat itu juga terdapat nelayan-nelayan tradisional yang rata-rata masih menggantungkan hidupnya dari sumber kelautan.
“Namun dalam hal ini NTB patut ditiru, karena komunitas nelayan telah memiliki Awig-Awig (hukum adat) yang mengatur perilaku kehidupan masyarakat, sehingga kawasan pesisir bisa tetap lestari. Contohnya kalau ada nelayan yang mencari ikan dengan memakai bom ikan atau merusak terumbu karang, maka pelaku akan diberikan hukuman adat berupa sanksi sosial,” jelas Abdul Malik dihadapan sekitar 150 peserta simposium yang terdiri dari berbagai institusi pemerintah Indonesia maupun luar negeri seperti Thailand, Philiphina, Malaysia dan organisasi internasional, LSM, Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah, Lembaga Adat, serta Perguruan Tinggi.(sslelono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar