Rabu, 28 Desember 2011

Prestasi Santri Dobrak Anggapan Ponpes Itu Kuno

Boleh saja gedung sekolah SMP dan SMA Al ‘Ashriyah Yayasan Banu Sanusi berada di tengah kampung, namun soal prestasi, ternyata santri-santri Pondok Pesantren (Ponpes) Banu Sanusi ini juga tak kalah dengan siswa/siswi sekolah-sekolah umum lainnya di Lombok Barat, ataupun Kota Mataram. Seperti apakah suasana kegiatan belajar mengajar (KBM) Ponpes yang ada di Desa Sesela, Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat ini?

SS Lelono - LOBAR


LANGIT mendung dan rintik gerimis kecil tampak mengiringi kunjungan penulis ke Ponpes yang didirikan Almarhum TGH Ahmad Sanusi, dimana melalui Yayasan Banu Sanusi secara resmi mendapat legal formal dari Kementerian Agama sejak 8 Juni 2010 lalu, sehingga kemudian dapat mendirikan lembaga pendidikan dan menyelenggarakan KBM untuk jenjang SMP dan SMA.

Dilihat dari jalan desa, sama sekali tak terlihat tanda-tanda tentang keberadaan Ponpes ini, karena letak gedung sekolah, maupun tempat pemondokan santrinya yang memang berada di tengah-tengah pemukiman warga.
Ketika memasuki pintu gerbang Ponpes Banu Sanusi, setelah sebelumnya melintasi gang-gang sempit berjarak sekitar 300 meter dari jalan desa, didalam kompleks Ponpes terlihat bangunan-bangunan yang semuanya tampak sederhana, dengan cat-cat dinding yang terkelupas karena termakan usia.
Beberapa santri terlihat sedang duduk-duduk di teras dan ruangan Mushola tak begitu besar yang di bangun tepat di tengah-tengah halaman kompleks Ponpes. Masing-masing tangan santri terlihat memegang Al Qur’an, ada yang mengaji, dan juga ada yang menghapal surat-surat Al Qur’an, sembari menanti tibanya sholat Ashar.
Beberapa santri lainnya terlihat duduk dan bercakap-cakap dengan serunya di Berugaq yang ada di samping Mushola. Uniknya, para santri itu tidak bicara menggunakan bahasa Sasak ataupun bahasa Indonesia, tetapi bahasa Inggris. Luar biasa!!
“Di areal Ponpes Banu Sanusi ini memang ada wilayah-wilayah tertentu yang telah ditetapkan sebagai zone bahasa Inggris dan bahasa Arab. Jika para santri berada di tempat itu, mereka hanya boleh bercakap-cakap dengan bahasa Inggris maupun bahasa Arab,” kata Ketua Yayasan Banu Sanusi, H. Syukri Sanusi.
Kebijakan ini dilakukan menurutnya, adalah untuk melatih penguasaan para santri dalam hal berbicara bahasa Inggris yang menjadi bahasa internasional, dan bahasa Arab, karena materi pelajaran, atau buku-buku yang ada di Ponpes lebih banyak menggunakan bahasa tersebut.
Diakui Syukri, para santri yang menjadi pelajar di Ponpes Banu Sanusi ini terhitung tak terlalu banyak, setiap jenjangnya, baik SMP maupun SMA hanya memiliki pelajar puluhan orang saja. “SMP Al ‘Ashriyah Yayasan Banu Sanusi hanya memiliki 64 orang siswa saja, sedangkan SMA Al ‘Ashriyah ada 67 orang siswa,” ujarnya.
Sebenarnya lanjut Syukri, Yayasan Banu Sanusi juga mendirikan lembaga pendidikan untuk jenjang TK dan SD, namun karena ijin penyelenggaraannya belum turun dari Kementerian Agama, maka pihaknya belum berani mengambil siswa.
Pun mengingat keterbatasan sarana dan prasarana untuk KBM, Yayasan Banu Sanusi juga tidak mementingkan soal kuantitas (jumlah-red) siswa, tetapi kualitas (prestasi-red) lebih diutamakan. Dimana untuk per kelas, jumlah siswa kami batasi hanya 25 orang saja.
“Alhamdulillah, dengan lebih sedikit santri, penyelenggaraan KBM juga menjadi lebih efektif. Terbukti beberapa santri kami berhasil mengukir prestasi yang cukup membanggakan, diantaranya beberapa siswa Al ‘Ashriyah berhasil memenangkan perlombaaan pembuatan film documenter tingkat provinsi, mengalahkan peserta yang berasal dari tingkat SMA, Mahasiswa, bahkan umum,” terang Syukri.
Seperti film documenter berjudul “Seni Ukir & Pahat Sesela” buah karya Ahmad Humaidi, siswa kelas 2 SMA Al ‘Ashriyah. Video dengan durasi 4 menit yang bercerita tentang suka duka para perajin seni ukir kayu di Desa Sesela ini berhasil juara pertama tingkat provinsi tahun 2011, dan berhak mewakili Provinsi NTB untuk perlombaan di tingkat nasional.
Sementara film documenter karya Etika Lailaturrohmah, siswi kelas 3 SMP Al ‘Ashriyah berjudul “Di Ujung Jalan” yang bercerita tentang derita kehidupan calon TKI/TKW yang akan berangkat ke Malaysia, berhasil menang menjadi film documenter tervaforit tingkat provinsi tahun 2011.
“Selain menang sebagai film documenter tervaforit, “Di Ujung Jalan” juga menang dalam kategori penulisan scenario tervaforit. Alhamdulillah, semua ini terjadi berkat kerjasama tim yang baik, mulai dari sutradara yang kebetulan saya sendiri, kemudian cameramen, pengisi suara, hingga proses editing,” ucap Etika setengah bersyukur.
Belum lama ini, film documenter lainnya karya Etika yang berjudul “Siapa Bilang Ponpes Itu Kuno”, bercerita tentang keseharian para santri ketika menimba ilmu di Pondok Pesantren Banu Sanusi, juga berhasil mendapat penghargaan sebagai juara kedua tingkat provinsi untuk kategori umum.
“Melalui penghargaan yang berhasil di raih para santri Ponpes Banu Sanusi ini, terutama film documenter “Siapa Bilang Ponpes Itu Kuno”, kami berharap dapat membuka mata masyarakat, bahwa belajar di Ponpes itu tak selamanya hanya mempelajari masalah keagamaan saja, tetapi para santri juga tidak buta soal informasi dan teknologi terkini, pun menguasai berbagai mata pelajaran yang diajarkan di lembaga pendidikan umum,” jelas Etika.(*)

1 komentar:

  1. wuiiih ternyata ada wartawan mataram yang ngeblog juga. ponpes memang harus lebih maju dari sekolah lain. sukses pak. ditunggu kunjungan dan komentar baliknya di blogger lotim ini

    BalasHapus