Minggu, 04 Desember 2011

“Boutique Rumah Tenun” Lestarikan Kain Tenun Khas NTB

Sejak jaman dahulu, ada tiga kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi agar bisa bertahan hidup, yakni kebutuhan sandang (pakaian), papan (rumah atau tempat tinggal), dan pangan (makanan). Kebutuhan hidup ini pula yang akhirnya mendorong pengetahuan manusia untuk menciptakan kain, sebagai dasar pembuatan pakaian yang dapat digunakan untuk melindungi tubuh dari pengaruh cuaca.

Dari berbagai sumber disebutkan, kepandaian menenun (membuat kain) bangsa Indonesia, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan luar, khususnya dari negeri yang menjadi pusat-pusat budaya tenun kuno seperti Cina dan India.
Proses penyebarannya sendiri telah dimulai sejak jaman neolithikum (2000 sebelum Masehi), dibawa oleh orang-orang ras mongoloid dari lembah-lembah sungai di Cina Selatan ke semenanjung Melayu. Berikutnya mereka menetap di Sumatera, Jawa, dan pulau-pulau lain di Indonesia bagian barat, sampai ke Kalimantan Barat, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Filipina (Koentjaraningrat, 1988 : 14–15).
Khusus di NTB, berdasarkan temuan arkeologis tahun 1971 di Gunung Piring, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, ragam-ragam hias (geometris dan flora) yang biasanya digunakan dalam kain tenun, ternyata juga dipakai hiasan pada benda-benda temuan lainnya, seperti gerabah.
Artinya, kemungkinan besar kepandaian menenun masyarakat Pulau Lombok dapat dikatakan sudah ada, atau satu masa dengan benda-benda arkeologi yang ditemukan di Gunung Piring tersebut, yang notabene adalah peninggalan masa neolithikum dan masih berlanjut hingga abad XII.
“Mungkin ini agak klise, tetapi sejarah panjang keberadaan kain tenun inilah yang mendorong saya untuk berbuat sesuatu bagi daerah tempat kelahiran saya (Pulau Lombok, NTB) ini, agar tradisi menenun yang sampai sekarang masih ada di masyarakat NTB, tidak punah karena tergerus perkembangan jaman,” kata Linda Hamidi Grander, pemilik “Boutique Rumah Tenun”.
Caranya lanjut Linda, tentu saja harus ada yang menghargai karya para penenun kain tradisional tersebut, dengan cara membeli kain tenun yang dihasilkan mereka. Sehingga apa yang dilakukan para penenun ini, juga bisa menghasilkan secara ekonomi.
“Kalau dengan menenun ternyata dapat menjadi sandaran perekonomian yang bisa menopang hidup keluarga, tentu saja para penenun kain tradisional ini akan tetap bekerja, yang ujungnya tradisi dan budaya warisan nenek moyang ini juga bisa tetap lestari,” ujar Linda bijak.
Agar memiliki nilai ekonomi yang tinggi, kain tenun tradisional yang dari segi harga juga termasuk mahal, karena dalam pembuatannya masih menggunakan tangan dan butuh waktu yang lama, tentu harus di kemas sedemikian rupa menjadi produk pakaian-pakaian yang menarik, maupun berbagai souvenir cantik yang dapat menjadi oleh-oleh para wisatawan.
Disinilah peran Linda Hamidy Grander yang sebenarnya, melalui “Boutique Rumah Tenun” yang dia dirikan pada Februari 2009 lalu di Jalan Ragi Genap 13 A, Ampenan, Kota Mataram, lahirlah berbagai pakaian laki-laki dan gaun-gaun cantik untuk wanita, tas, dasi, taplak meja, sarung bantal, tempat tisu, dompet, tempat Hand Phone, dan lainnya, yang tentu saja semua produknya berbahan kain tenun khas NTB.
Pertanyaannya sekarang, apa tidak mahal produk-produk buatan “Boutique Rumah Tenun” tersebut? “Mahal itu relative, kalau seseorang itu sudah tertarik dan merasa cocok, barang semahal apapun pasti akan di beli. Tapi jangan khawatir, produk yang ada di “Boutique Rumah Tenun” ini tidak mahal, bahkan ada salah satu produk yang harganya cuma Rp 15.000 saja,” ujar Linda.
Dalam dunia fashion, nama Linda Hamidy Grander sendiri sebenarnya bukan nama yang asing lagi. Berbagai lomba rancang busana maupun fashion show, baik yang diselenggarakan di daerah maupun tingkat nasional, tercatat pernah dia ikuti. Dan keikutsertaannya tersebut juga tak sia-sia, karena sejumlah penghargaan juga berhasil dia bawa pulang.
Bahkan dalam hal fashion ini, Linda juga pernah dua kali bekerjasama dengan Samuel Watimena, perancang pakaian kenamaan dari Jakarta.
Kepiawaian Linda dalam hal fashion ini memang wajar saja terjadi, karena dia adalah lulusan FIDM (Fashion Institute of Design & Merchandising) di San Francisco, California, dengan nilai kelulusan Cum Laude.  
Melihat berbagai kompetensi yang dimiliki tersebut, mengapa Linda tidak memilih daerah yang dunia fashionnya lebih ramai seperti Jakarta, atau Bali misalnya? “Tidak, jauh-jauh saya menimba ilmu sampai Amerika, setelah kembali pulang ke daerah asal keinginan saya hanya satu, mengembangkan kain tenun tradisional NTB agar kedepan bisa di kenal oleh dunia,” tegas Linda.
“Percaya atau tidak, keberadaan “Boutique Rumah Tenun” ini juga saya dedikasikan untuk para penenun tradisional NTB. Harapan saya, perekonomian para penenun kain tradisional NTB bisa terangkat, dan bisa membuat mereka sejahtera,“ harap Linda.(sslelono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar