Jumat, 04 November 2011

Tambang Batu Hijau Jadi Geo Wisata, Mengapa Tidak?

Selama ini orang berpikir, untuk bisa berkunjung ke lokasi tambang emas Batu Hijau yang dikelola oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (PT.NNT) di Kabupaten Sumbawa Barat, adalah sesuatu yang sulit. Karena pengunjung lebih dahulu harus mengurus ijin ke Dinas Pertambangan dan Energi, untuk kemudian setelah disetujui, baru mengajukan permohonan kunjungan ke pihak perusahaan.

Hal itu tentu wajar terjadi, mengingat perusahaan tambang raksasa sekelas PT.NNT, terbukti telah memberikan pemasukan puluhan triliun rupiah setiap tahun bagi perekonomian Indonesia melalui berbagai jenis pajak dan royalti, pembelian barang dan jasa, penghasilan bagi pekerja dan program pengembangan masyarakat. Sehingga tak salah kalau masalah keamanan menjadi prioritas utama, dan orang yang keluar masuk ke lokasi tambang juga harus terdaftar secara resmi.
Selain itu sebagai daerah pertambangan terbuka, areal sekitar Batu Hijau tentu saja berbahaya bagi para pengunjung yang tidak mengetahui seluk beluk tentang tambang. Karena dalam pelaksanaan operasinya, terkadang perusahaan juga menggunakan bahan peledak untuk melepaskan batu dari tanah.
“Untuk diketahui, PT.NNT beroperasi berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani pada 2 Desember 1986 lalu. Dimana pada tahun 1990, PT.NNT menemukan cebakan tembaga porfiri yang kemudian diberi nama Batu Hijau,” kata Senior Manager Hubungan Eksternal PT.NNT, Arif Perdanakusumah.
Setelah dilakukan berbagai kajian teknis dan lingkungan selama hampir enam tahun, serta disetujui Pemerintah Indonesia, maka pembangunan proyek Batu Hijau dimulai pada tahun 1986. “Proyek senilai US$ 1,8 miliar ini selesai tahun 1999 dan mulai beroperasi penuh pada Maret 2000,” jelas Arif.
Tambang Batu Hijau sendiri terletak di sebelah barat daya Pulau Sumbawa, tepatnya di Kecamatan Jereweh dan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. “Proyek Batu Hijau PT.NNT memperkerjakan lebih dari 4.200 pekerja dan 2.500 pekerja kontrak, dimana lebih dari 60 persen diantaranya adalah pekerja yang berasal dari Nusa Tenggara Barat,” terang Arif.
Terpenting, kehadiran operasi tambang Batu Hijau ini juga ikut membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar, seperti menjadi pemasok perlengkapan, material bangunan, bahan makanan, atau kebutuhan lain bagi perusahaan.
Terkait anggapan masyarakat, bahwa berkunjung ke lokasi PT.NNT itu sulit dan melalui serangkaian birokrasi yang berbelit? Dengan tegas Arif menampik. “Kalau dikatakan sulit, buktinya setiap tahun tak kurang dari 800 orang yang melakukan kunjungan ke lokasi PT.NNT, baik untuk keperluan studi banding, pendidikan, maupun kepentingan lainnya,” ujar Arif.
Lantas, terkait program Pemerintah Provinsi NTB yakni Visit Lombok Sumbawa 2012, mungkinkah areal tambang Batu Hijau dikembangkan menjadi Geo Wisata? Menjawab itu kembali Arif mengatakan. “Mengapa tidak? Di lokasi tambang, pihak perusahaan bahkan telah membangun areal khusus bagi pengunjung yang hendak mengetahui seluk beluk masalah pertambangan yang sedang kami lakukan,” jawabnya.
Hanya saja lanjutnya, untuk menjadi Geo Wisata secara penuh, tentu hal itu tergantung dari niat dan kemauan pemerintah, khususnya koordinasi yang dilakukan antara pemerintah daerah dan pihak perusahaan.
Namun diakui Arif, khusus daerah pertambangan Batu Hijau, memang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan daerah pertambangan lain di dunia, dimana daerah pertambangan biasanya berada di tengah-tengah hutan atau diatas pegunungan. “Tetapi untuk tambang Batu Hijau sendiri, areal tambangnya dikelilingi oleh panorama pantai yang indah dengan pasir putihnya, seperti Pantai Maluk dan Pantai Sekongkang. Juga kaya dengan keberadaan goa – goa yang indah dan bahkan belum ditemukan sebelumnya. Semua ini tentu potensi wisata yang tak bisa diabaikan begitu saja,” jelas Arif.
Dan sebagai bukti komitmen pihak perusahaan untuk membantu pemerintah daerah, PT.NNT juga telah membantu dan mengembangkan potensi kepariwisataan di daerah sekitar tambang, seperti pengembangan Pantai Maluk dan Pantai Sekongkang, juga melengkapinya dengan berbagai fasilitas publik seperti WC umum, areal bermain anak dan lainnya.
“Dahulu sebelum ada tambang, kedua wilayah ini terkenal sebagai daerah endemik malaria, tetapi setelah ada tambang Batu Hijau, kedua daerah eks transmigrasi ini bisa bebas dari penyakit malaria. Bahkan berkembang menjadi lokasi wisata yang menarik minat wisatawan untuk berkunjung, tak hanya wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara,” terang Arif.
Sementara terkait kegiatan operasi tambang, Ari, salah seorang staf Humas PT.NNT menerangkan, Batu Hijau merupakan cebakan tembaga porfiri dengan sedikit kandungan emas dan perak. “Dalam setiap ton bijih yang diolah, hanya menghasilkan 4,87 kilogram tembaga dan 0,37 gram emas, serta mineral lain seperti perak,” jelasnya.
Penambangan dilakukan dengan kegiatan pengeboran dan peledakan untuk melepaskan batuan dari tanah dengan diameter rata-rata 25 cm. Selanjutnya dengan menggunakan beberapa shovel berukuran besar, batuan dimuat ke dalam truk berkapasitas 240 ton dan kemudian diangkut menuju dua buah crusher (mesin penghancur) untuk diperkecil ukurannya menjadi diameter kurang dari 15 cm.
Dari crusher, bijih batuan diangkut dengan ban berjalan sepanjang 6 kilometer ke pabrik pengolahan yang disebut konsentrator, dimana mineral berharga dipisahkan dari batuan tak bernilai melalui proses penggerusan dan flotasi.
Setelah dicampur dengan air laut, bijih batuan kemudian digerus menggunakan dua penggerus yang disebut Semi Autogenous (SAG) mill dan 4 ball mill, untuk selanjutnya partikel halus yang terkandung dalam slurry di pompa ke seperangkat tangki cyclone untuk pemisahan akhir partikel bijih, dan menghasilkan konsentrat. Tangki inilah yang dinamakan sel flotasi.
Setelah dari sel flotasi, konsentrat dikirim ke tangki CCD (counter-courent decantation), dimana air laut dibuang, dan konsentrat dikentalkan di dasar tangki dengan cara mengalirkan air tawar secara berlawanan arah. Berikutnya konsentrat mengalir melalui pipa sepanjang 17,6 kilometer menuju fasilitas filtrasi atau penyaringan di Benete (pelabuhan), untuk diproses menjadi bubuk batuan halus atau pasir, dan disimpan dalam gudang menunggu pengapalan.
“Selama proses pemuatan ke kapal, konsentrat ditimbang dengan disaksikan oleh wakil dari pihak perusahaan (PT.NNT), pembeli dan petugas pemerintah,” pungkas Ari.(sslelono)

1 komentar:

  1. kalau boleh tau, goa di sekitar pantai maluk sama pantai sekongkang itu tipe goa vertikal apa horizontal ya? terus apa udah ada nama goanya? thanks

    BalasHapus