Minggu, 06 November 2011

Komang Kantun, Seniman Serba Bisa Yang Tetap Sederhana (Bagian II)

Bagi masyarakat di Pulau Lombok, sosok Komang Kantun, warga Dusun Rendang Bajur, Desa Taman Sari, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat, dikenal sebagai spesialis perajin Gendang Beleq (Big Drum).
Namun ternyata kemampuan yang dia miliki tak hanya terbatas membuat Gendang Beleq, atau gendang-gendang lain dengan ukuran yang lebih kecil saja. Komang Kantun juga jago membuat, atau memperbaiki alat-alat musik tradisional lain seperti Reong, Oncer, Gong, Kenceng, Suling, dan lainnya.
Hebatnya, sebagai pembuat alat-alat musik tradisional, dia juga menguasai permainan dari alat-alat yang dibuatnya tersebut. Sehingga tak heran kalau hampir sebagian besar seniman di Pulau Lombok, juga mengenal sosok yang satu ini, seperti Ni Made Darmi (Seniman Tari), Amaq Raye (Seniman Tari), HL Nasib AR (Dalang Wayang Kulit Sasak), Darwilis (Perajin Wayang Kulit Sasak), Ida Wayan Pasa (Seniman Tari), Abdul Hamid (Seniman Tari), dan lainnya.
Tak hanya mengenal, dalam kreasinya, ataupun pentas di panggung, para seniman tersebut juga melibatkan Komang Kantun secara aktif, baik dalam hal menciptakan tata musik, hingga gerak tari.
Bersama HL Nasib AR misalnya, Komang Kantun telah lama menjadi peniup suling ketika Dalang Wayang Kulit Sasak ini sedang pentas. Bahkan hingga kini, meskipun dia tak lagi bersama HL Nasib AR, gending ciptaannya melalui alat musik suling yang dia beri judul “Kembangan Pancasila”, tetap dipakai dalam setiap pementasan wayang kulit Sasak. Bahkan Komang Kantun juga menguasai ilmu pedalangan, dimana dikediamannya juga dijumpai 2 box peti kayu yang berisi Wayang Sasak. 
Berikutnya bersama Ida Wayan Pasa (Seniman Tari), seniman serba bisa Komang Kantun ini juga sempat menggarap Tari Peresean, Tari Gugur Mayang, dan juga Tari Babad Lombok, yang sampai saat ini masih sering dipentaskan para seniman Lombok untuk menyambut kedatangan para tamu atau wisatawan ke NTB. Demikian juga dengan Abdul Hamid (Seniman Tari), selain menyempurnakan tata gerak Tari Peresean, dia juga menggarap Tari Rudat, Cepung, dan Rebana.
Bahkan seniman-seniman masa kini yang aktif menjadi guru di sekolah-sekolah di Kota Mataram seperti Karno dan Rami,un, adalah siswa hasil didikan Komang Kantun, karena sebelum pindah ke Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan NTB sebagai Pegawai Negeri Sipil, dia adalah seorang guru seni di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Mataram.
Bisa dikatakan, sekolah-sekolah di Kota Mataram yang sekarang siswanya menguasai kesenian tradisional, seperti Gendang Beleq, tak lepas dari sentuhan tangan dingin Komang Kantun, karena semua peralatan yang dipakai adalah hasil buatan tangannya.
Namun demikian, berbagai kemampuan yang dimiliki tersebut, tak lantas membuat dia menjadi bangga, atau sombong. Sebagai seniman serba bisa yang sering menjadi rujukan dari para seniman tradisional Lombok lainnya, dia tetap bersikap rendah hati dan terkesan hidup sederhana.
Rumahnya tetap masih di tengah kampung, tidak ada petunjuk sedikitpun kalau penghuni rumah itu adalah seniman serba bisa yang namanya telah tersohor tak hanya di Pulau Lombok, tetapi juga Bali. Bahkan bersahabat akrab dengan salah satu akademisi asal Amerika, Prof. David A, yang ketika datang ke Lombok, pasti akan menjumpai Komang Kantun dikediamannya.
Tampaknya, Komang Kantun ini termasuk jenis orang yang menganut ilmu “Padi”. Artinya, semakin dia berilmu, maka dia akan semakin rendah hati, sama seperti tanaman padi yang semakin berisi akan semakin merunduk.
Namun ada sedikit kekhawatiran Komang Kantun terkait perkembangan seni dan budaya tradisional di Lombok. Menurutnya, di Pulau Lombok ini terdapat ribuan seniman, hanya saja yang mampu berkreasi terlihat masih minim. “Padahal, Provinsi NTB ini telah mencanangkan daerahnya adalah tempat tujuan wisata, dimana selain keindahan alam yang menarik wisatawan untuk datang, mereka juga tertarik dengan kesenian dan budaya yang ada,” ujarnya.
Yang memprihatinkan lagi, meskipun mereka berusaha dan berada di Pulau Lombok, belum semua manajemen hotel atau restaurant di Lombok yang menunjukkan ciri khas daerah Lombok. Alunan musik yang diperdengarkan di lingkungan hotel atau restaurant masih musik dari luar daerah, Wayang Sasak belum menjadi pajangan dinding, arsitektur dan bentuk bangunan juga masih banyak menganut daerah luar, dan lainnya.
“Kalau ini terus berlangsung, bagaimana para tamu mendapatkan kesan kalau mereka sebenarnya ada di Pulau Lombok. Akibat kedepan, seniman Lombok menjadi tidak terangkat perekonomiannya, sehingga seniman menjadi malas berkreasi dan akhirnya memilih profesi lain,” pungkas Komang Kantun prihatin.(sslelono)

2 komentar:

  1. halo mas, menarik sekali informasinya. saya panji praktisi pariwisata yg tinggal di lombok ingin berkunjung ke rumah bapak kantun dan mungkin juga ke depan mengajak wisatawan asing (pelaku pariwisata luar negeri, bukan sekedar turis) ke rumah beliau untuk berbincang2 dengan beliau. apakah itu dimungkinkan? ini sebagai terimakasih sebelumnya.... email saya di panji.sidharta@gmail.com

    BalasHapus