Sabtu, 05 November 2011

Kabupaten Bima, Potensi Pariwisata Yang Belum Tergali

Sektor kepariwisataan di Kabupaten Bima, wilayah paling ujung timur di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), tampaknya tak bisa dipandang sebelah mata. Sejarah panjang dari masa Kesultanan Bima hingga kini, tentu menyimpan potensi kesenian, budaya, dan situs sejarah yang kaya. Selain Kabupaten Bima sendiri juga dikaruniai kekayaan dan pemandangan alam yang indah.

Bahkan Bupati Bima, H. Fery Zulkarnaen, ST, jauh hari telah mendeklarasikan wilayahnya sebagai daerah “Segi Tiga Emas” pariwisata Indonesia di bagian timur. Dan kalau dilihat dari segi letak Kabupaten Bima yang strategis, pengakuan Bupati Bima ini tentu dapat dibenarkan.
“Letak Kabupaten Bima untuk sector kepariwistaan sangat strategis, yakni diantara kawasan pariwisata Bali dan Pulau Lombok di bagian barat, kemudian Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur) di bagian timur, serta Tana Toraja (Sulawesi Selatan) di bagian utara,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima, Drs H Nurdin.
Diantara potensi-potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Bima, yakni upacara adat yang dikenal dengan Hanta Ua Pua, sebuah upacara adat untuk memperingati masuknya Agama Islam ke Bima.
Selain itu, juga ada situs sejarah yang terkenal, situs Wadu Pa’a di Desa Sowa, Kecamatan Soromandi, dan kuburan Dana Taraha, sebuah kompleks pemakaman para Raja dan Sultan Bima yang terletak di sebuah bukit berjarak sekitar 1 kilometer dari Terminal Bus Bima.
Sementara obyek wisata pantai di Kabupaten Bima yang bisa menjadi pilihan untuk berwisata, ada dua pantai yang cukup terkenal, obyek wisata pantai Kalaki dan obyek wisata pantai Rontu, kedua pantai tersebut berpasir putih, dengan perairan laut yang tidak berombak besar, serta panorama pegunungan sekeliling yang eksotis.
Dan tak kalah menariknya, tentu saja Pulau Ular, sebuah pulau di tengah perairan bagian timur wilayah Kecamatan Wera, yang juga bersebelahan dengan obyek wisata Pulau Gilibanta dan Tolowamba.
Pulau Ular ini merupakan habitat bagi populasi ular laut dengan warna putih silver dan kombinasi warna hitam mengkilat. Uniknya, ular-ular itu ternyata jinak dan bersahabat dengan wisatawan yang berkunjung.
Pulau Ular ini bisa dijangkau dengan transportasi darat selama 45 menit perjalanan dari Kota Bima, kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu yang telah disediakan masyarakat, dengan waktu tempuh kurang lebih 15 menit.
Melihat berbagai potensi tersebut, sejumlah terobosan yang inovatif dan kreatif, terus dikembangkan oleh penguasa setempat (Bupati Bima), untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, yang pada ujungnya bisa mensejahterakan masyarakat Bima.
Salah satu sektor yang menjadi prioritas utama, adalah bidang perhubungan, sehingga daerah ini tidak lagi terisolasi, yang dibuktikan dengan meningkatkan berbagai fasilitas di Bandar Udara M Salahuddin Bima. “Fasilitas dan daya dukung Bandar Udara M Salahuddin yang sebelumnya sepanjang 1.650 meter, dengan lebar 45 meter, akan ditingkatkan menjadi panjang 2.250 meter dan lebar 45 meter,” kata Nurdin.
Potensi destinasi wisata lainnya di Kabupaten Bima lanjut Nurdin, adalah keberadaan Istana Kesultanan Bima yang kini telah beralih fungsi menjadi Museum ASI Mbojo. “Ditempat ini, para pengunjung akan disuguhi benda-benda bersejarah peninggalan masa Kesultanan Bima seperti mahkota kesultanan, beberapa keris bersarung emas dengan tangkai terbuat dari gading, serta benda bersajarah lainnya,” jelas Nurdin.
Lainnya, produksi kain tenun dengan kualitas tinggi yang bisa disaksikan di daerah Wawo-Maria, sebuah daerah yang telah dikenal dunia karena keberadaan lumbung tradisionalnya, atau Lengge.
Juga wilayah Donggo, dengan jarak tempuh sekitar 40 kilometer dari ibukota kabupaten, daerah ini merupakan desa tertua di Bima, dengan penduduk desanya memiliki pakaian dan tradisi yang berbeda dibandingkan desa-desa lainnya. “Masyarakat masih memelihara tradisi, dengan selalu memakai pakaian hitam, serta membangun rumah tradisional mereka sendiri,” ucap Nurdin seraya menyatakan, satu tempat lagi di Bima yang memproduksi kain tenun dengan cara tradisional adalah Desa Raba-Dompu.
Berikutnya adalah Gunung Sangeang, sebuah gunung berapi dengan ketinggian sekitar 2000 meter dari permukaan laut, dengan pemandangan yang cantik dan eksotik. Demikian pula dengan Mada Pangga, sebuah hutan jati yang menjadi habitat binatang liar dan burung aneka warna.
“Dan yang tak boleh dilupakan adalah Sape, rute utama bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Pulau Komodo (NTT) untuk melihat Komodo, hewan reptil terbesar yang terkenal dengan sebutan Naga,” jelas Nurdin.(sslelono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar